Berbeda dengan sebagian besar profesi
lain, nelayan Indonesia wajib menambahkan pertimbangan cuaca dalam
setiap aktifitasnya. Kesalahan memprediksi cuaca, bisa berakibat fatal
dan berujung pada kematian. Untuk itu, setiap tahun nelayan memiliki
waktu ‘jeda’ dalam bekerja di laut. Pada bulan-bulan peralihan dan musim
ombak, dikenal dengan ‘angin utara’ di kepulauan Anambas Kepulauan Riau
atau musim je’ne kebo’ (air putih atau berbusa) di kepulauan
Selayar, Sulawesi Selatan, misalnya, nelayan terpaksa harus berdiam di
pulau. Sayangnya urusan makan dan mencari nafkah tidak bisa
ditawar-tawar. Akibatnya, setiap tahun korban tetap berjatuhan dan
kecelakaan tetap saja terjadi setiap tahun
Pemerintah belum menyiapkan formula
khusus dan tepat untuk mengantisipasinya. Adanya anomali cuaca, akibat
fenomena perubahan iklim, semakin memperburuk keadaan. Kerugian ekonomi
mencapai milyaran rupiah di setiap pusat-pusat kegiatan nelayan. Tempat
Pelelangan Ikan (TPI) seolah lumpuh dan kapal-kapal ditambatkan,
meninggalkan nelayan yang galau.
Nelayan tanpa pemihakan
Meski Indonesia adalah negara kepulauan
terbesar di dunia, nelayan hidup dengan kondisi yang serba sulit,
apalagi pada periode peralihan cuaca. Kebijakan yang diterapkan di
berbagai lini, belum sensitif terhadap kehidupan nelayan kecil dan malah
mempersulit.
Pertama,
nelayan harus mengeluarkan biaya yang jauh lebih besar dari masyarakat
perkotaan dan profesi lainnya dalam mengakses dan mendapatkan kebutuhan
hidupnya. Harga-harga bahan pokok dan bahan bakar minyak (BBM) misalnya
berharga jauh lebih mahal di kawasan kepulauan. Hal ini berimplikasi
pada mahalnya biaya yang menunjang kegiatan produktif termasuk
transportasi, komunikasi, logistik dan sebagainya yang harus ditanggung
oleh keluarga nelayan.
Kedua, nelayan
kecil tidak didukung oleh jaminan kesehatan dan keselamatan kerja yang
memadai seperti asuransi. Sehingga semuanya harus ditanggung sendiri.
Kapal-kapal yang rusak akibat ombak besar atau karam menabrak tebing
karang, tidak akan mendapatkan ganti rugi. Bahkan ketika mengalami
kecelakaan, cacat seumur hidup atau meninggal pun, urusan harus
ditanggung sendiri. Perusahaan asuransi masih lebih lebih memilih
profesi karyawan yang bekerja di gedung-gedung perkantoran, ketimbang
memberikan asuransi kepada pekerjaan nelayan yang beresiko tinggi.
Paling tinggi, nelayan menerima informasi dari Badan Meteorologi dan
Geofisika (BMG) tentang larangan ke laut dan besarnya gelombang.
Ketiga, akses
permodalan sangat terbatas. Perbankan belum melirik kegiatan perikanan,
apalagi oleh nelayan kecil, sebagai bagian dari prioritas pembangunan.
Sehingga hampir tidak ada akses dan bantuan permodalan yang memadai bagi
nelayan. Kegiatan perikanan yang dilakukan berlangsung begitu sederhana
dan ala kadarnya. Kondisi ini sekaligus menciptakan ketergantungan
nelayan dengan para tengkulak dan rentenir semakin besar. Mau tidak mau,
ketika membutuhkan uang, mereka akan mengetuk pintu para tengkulak yang
biasanya siap 24 jam. Konsekuensinya, mereka harus pasrah dengan
‘kebijakan’ yang biasanya sangat merugikan, termasuk membayar bunga yang
sangat tinggi, kewajiban menjual hasil tangkapan dengan harga yang
dipatok oleh tengkulak, komitmen untuk ikut dalam kegiatan perikanan
merusak (misalnya pemboman dan pembiusan ikan), dan berbagai bentuk
lainnya.
Ketiga hal di atas diperparah dengan
terbatasnya sarana dan prasarana di pesisir dan kepulauan dimana nelayan
bermukim. Akses terhadap listrik, air bersih, kesehatan, pendidikan,
komunikasi, sangat terbatas dan terkadang menjadi barang mewah.
Akibatnya wacana pengembangan usaha nelayan selalu berada pada level
konsumsi saja. Pengembangan usaha menjadi hal yang sulit dilakukan.
Lonceng kematian nelayan terus berdentang. Masa depan nelayan, terus
memburam.
Nelayan Juga Manusia
Menjadi nelayan adalah profesi mulia,
apalagi di negara kepulauan seperti Indonesia. Untuk itu, masa depan
nelayan, khususnya nelayan kecil dan masyarakat kepulauan perlu
diselamatkan. Nelayan juga warga negara Indonesia yang berhak
mendapatkan perlakuan dan perhatian yang sama dengan warga negara
lainnya. Musim dan cuaca buruk seharusnya tidak menjadi titik penghambat
yang menghalangi nelayan untuk tetap hidup dan melakukan kegiatan.
Untuk itu, pemerintah perlu segera menyiapkan strategi dan kebijakan
yang memiliki pemihakan terhadap nelayan (pro-nelayan), dan sensitive
terhadap perubahan cuaca yang dihadapi.
Pertama, mengantisipasi
alternatif pendapatan bagi nelayan, yang memungkinkan nelayan dan
keluarganya tetap produktif dan mendapatkan penghasilan selama periode
cuaca buruk. Hal ini tidak mudah namun bukan tidak mungkin. Besarnya
kebutuhan pasar terhadap komoditas perikanan selama ini belum mampu
diimbangi oleh produktifitas. Orientasi budidaya perikanan yang
sementara diintensifkan perlu memberikan ruang yang lebih besar bagi
nelayan untuk berpartisipasi. Berbagai sarana penunjang perikanan
tangkap pun perlu dibenahi. Insentif untuk mendukung perlu disiapkan,
termasuk akses permodalan dan perbankan.
Kedua, membangun
pusat-pusat pelayanan logistic dan berbagai kebutuhan masyarakat
kepulauan secara regular. Harga bahan pokok dan bahan bakar (BBM)
misalnya perlu dikelola sehingga memungkinkan nelayan dan masyarakat
kepulauan mendapatkannya dengan harga yang sama dengan masyarakat
perkotaan. Pola Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN) yang dikembangkan
oleh Kementerian kelautan dan perikanan (KKP) namun kemudian menyurut
perlu diintensifkan lagi, dan merambah ke kawasan kepulauan. Bukan
sekedar di pesisir. Pembenahan jaringan informasi dan komunikasi,
listrik maupun air bersih perlu diintensifkan.
Ketiga, membangun peta jalan (roadmap)
nelayan dan masyarakat kepulauan Indonesia sehingga mereka kembali
menjadi ‘tuan rumah’ dan menjadi bagian penting dalam pengelolaa
sumberdaya perikanan. Bukan sekedar penonton atau sekedar berorientasi
memenuhi kebutuhan sehari-hari belaka, namun pada perspektif yang
memungkinkan mereka meningkatkan kesejahteraannya. Bukan meminggirkan
mereka dari laut dan “memasung’nya dengan budidaya perikanan. Melahirkan
interpreneur nelayan (usahawan lokal) yang bisa bekerjasama dengan
berbagai pihak baik pemerintah maupun swasta.
Dalam kerangka yang lebih luas,
pemerintah perlu melakukan perubahan paradigma pembangunan, dari daratan
menjadi kelautan. Pembangunan di kepulauan bukan sebagai beban, namun
sebagai harapan dan masa depan Indonesia. Mendorong agar Indonesia
menjadi negara maritim yang mandiri dan berdaulat.
Ditulis oleh: M. Zulficar Mochtar
Sumber : http://dfw.or.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar