Pada posting sebelumnya, kami mencoba membahas mengenai keberadaan hiu
yang sangat bepengaruh terhadap keseimbangan ekosistem(bisa di baca pada http://penyuluhppsbitung.blogspot.com/2013/03/melindungi-hiu-menjaga-laut-dan.html
Sehubungan dengan itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia untuk
melindungi jenis ikan terancam punah khususnya Hiu dan menjaga keseimbangan ekosistem
perairan laut mendapat respon positif dari Pemerintah Daerah Kabupaten
Raja Ampat dengan diterbitkannya **Peraturan Daerah (Perda) No. 9/2012
tentang Larangan Penangkapan Ikan Hiu, Pari Manta dan Jenis-Jenis Ikan
Tertentu di Perairan Laut Kabupaten Raja Ampat. Dikeluarkannya Perda No.
9/2012 tersebut merupakan bentuk komitmen Pemerintah Daerah Raja Ampat
dalam menjaga jenis ikan rawan terancam punah yang berada di wilayah
perairan Raja Ampat."Hari ini, Pemerintah Kabupaten Raja Ampat melakukan
terobosan baru dengan menjadi kabupaten pertama di Indonesia yang
mengeluarkan peraturan daerah untuk melindungi beberapa biota laut yang
sudah semakin terancam populasinya di alam. Saya berharap Perda ini bisa
menjadi pemicu pemerintah daerah lain serta pemerintah pusat sendiri
untuk mengembangkan peraturan sejenis, untuk memberikan efek positif
pada implementasinya, yang tentunya akan memberikan nilai positif
Indonesia di mata dunia."Demikian dikatakan Menteri Kelautan dan
Perikanan Sharif C. Sutardjo, ketika membuka Simposium Nasional
Perlindungan Hiu di Indonesia, di Jakarta (19/03/2013).
Menurut Sharif, akhir-akhir ini
aktivitas penangkapan hiu, terutama perdagangan sirip hiu banyak
mendapat sorotan dunia internasional. Penangkapan yang tidak terkendali
dikhawatirkan akan menyebabkan ancaman kepunahan ikan hiu dunia. Apalagi
dalam The Conference of the Parties to the Convention on International
Trade in Endangered Species (COP CITES) pada bulan Maret tahun 2013
juga telah memasukkan 4 spesies hiu ke dalam daftar Appendik II CITES.
Ini berarti bahwa Indonesia sudah harus melakukan langkah-langkah
pengelolaan yang lebih baik terhadap sumberdaya ikan hiu di Indonesia.
“Dengan masuknya beberapa spesies hiu ke dalam Daftar Appendik II CITES,
ini berarti bahwa kegiatan penangkapan ikan hiu masih tetap
diperbolehkantapidengan pengaturan yang ketat,” jelasnya.
Sharif menegaskan, banyak kalangan, termasuk KKP, menilai masalah perburuan hiu sangat kompleks karena melibatkan berbagai dimensi, baik itu dimensi ekonomi, sosial, budaya hingga perlindungan atau konservasi. Upaya menghentikannya pun, bukan sebuah perkara mudah. Apalagi, selama masih ada pembeli yang mau menerima sirip-sirip hiu, maka pasar akan selalu terbuka, dan perburuan masih akan terus terjadi. Untuk mengatasinya, butuh sebuah pendekatan yang holistik secara ekonomi politik untuk mengatasinya. “Tidak cukup hanya menangkap pelaku perburuan saja tetapi termasuk juga memperkuat regulasi dan penegakan hukum di lapangan terhadap negara penerimanya,” tandas Sharif.
Populasi hiu mengalami penurunan yang cepat dan drastis di seluruh dunia akibat tekanan perburuan. Permintaan sirip hiu yang terus meningkat dipasar internasional disinyalir menjadi pemicunya. Sedikitnya 73 juta ekor hiu dibunuh setiap tahunnya yang sebagian besar hanya diambil siripnya saja, sebagai bahan sup. Akibatnya, banyak spesies hiu telah mengalami penurunan lebih dari 75%, bahkan pada beberapa spesies tertentu hingga 90% atau lebih. Hiu menjadi sasaran langsung maupun tidak langsung sebagai tangkapan sampingan dalam industri perikanan pelagis. Bahkan saat ini, Indonesia menduduki peringkat tertinggi sebagai eksportir hiu dan pari manta terbesar di dunia. Sebagai bentuk komitmen pemerintah, Menteri Kelautan dan perikanan telah menetapkan kepulauan Raja ampat sebagai Kawasan Konservasi Perairan Nasional melalui Keputusan Menteri KP No. 64/Men/2009 tentang penetapan kawasan konservasi perairan nasional kepulauan Raja Ampat dan laut di sekitarnya di provinsi Papua Barat serta Keputusan Menteri KP No. 65/Men/2009 tentang penetapan kawasan konservasi nasional kepulauan Waigeo sebelah barat dan laut di sekitarnya di provinsi Papua Barat.
Sharif menegaskan, banyak kalangan, termasuk KKP, menilai masalah perburuan hiu sangat kompleks karena melibatkan berbagai dimensi, baik itu dimensi ekonomi, sosial, budaya hingga perlindungan atau konservasi. Upaya menghentikannya pun, bukan sebuah perkara mudah. Apalagi, selama masih ada pembeli yang mau menerima sirip-sirip hiu, maka pasar akan selalu terbuka, dan perburuan masih akan terus terjadi. Untuk mengatasinya, butuh sebuah pendekatan yang holistik secara ekonomi politik untuk mengatasinya. “Tidak cukup hanya menangkap pelaku perburuan saja tetapi termasuk juga memperkuat regulasi dan penegakan hukum di lapangan terhadap negara penerimanya,” tandas Sharif.
Populasi hiu mengalami penurunan yang cepat dan drastis di seluruh dunia akibat tekanan perburuan. Permintaan sirip hiu yang terus meningkat dipasar internasional disinyalir menjadi pemicunya. Sedikitnya 73 juta ekor hiu dibunuh setiap tahunnya yang sebagian besar hanya diambil siripnya saja, sebagai bahan sup. Akibatnya, banyak spesies hiu telah mengalami penurunan lebih dari 75%, bahkan pada beberapa spesies tertentu hingga 90% atau lebih. Hiu menjadi sasaran langsung maupun tidak langsung sebagai tangkapan sampingan dalam industri perikanan pelagis. Bahkan saat ini, Indonesia menduduki peringkat tertinggi sebagai eksportir hiu dan pari manta terbesar di dunia. Sebagai bentuk komitmen pemerintah, Menteri Kelautan dan perikanan telah menetapkan kepulauan Raja ampat sebagai Kawasan Konservasi Perairan Nasional melalui Keputusan Menteri KP No. 64/Men/2009 tentang penetapan kawasan konservasi perairan nasional kepulauan Raja Ampat dan laut di sekitarnya di provinsi Papua Barat serta Keputusan Menteri KP No. 65/Men/2009 tentang penetapan kawasan konservasi nasional kepulauan Waigeo sebelah barat dan laut di sekitarnya di provinsi Papua Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar