Populasi ikan tuna di Samudra Hindia semakin berkurang. Ukuran tubuhnya juga kian mengecil. Mengapa demikian?
Tekanan tangkapan yang berlebihan menjadi salah satu penyebab menurunnya hasil tangkapan ikan tuna di Samudra Hindia. Hasil pemantauan peneliti dari Loka Penelitian Perikanan Tuna (LPPT), Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP), Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan, ikan tuna di Perairan Samudra Hindia semakin sulit didapat. “Selain sulit didapat, ukurannya lebih kecil, dan jarak tangkapnya kini juga semakin jauh,” ungkap Budi Nugraha, Kepala LPPT Balitbang KP kepada Majalah Sains Indonesia beberapa waktu lalu.
Hasil pemantauan Tim LPPT menyebutkan, hasil tangkapan ikan tuna yang didaratkan di Pelabuhan Benoa pada 2011 hanya 6.326,78 ton. Jumlah tersebut menurun jika dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 7.964,20 ton. ”Jumlah tersebut didapat dari hasil pantauan tim kami di 14 perusahaan penangkap ikan tuna di Pelabuhan Benoa Bali, mulai Januari sampai Juni 2012,” kata Budi.
Untuk mendapatkan data yang valid, setiap kapal yang bongkar tangkapan tuna longline di Pelabuhan Benoa didata, baik jenis kapal penampung maupun penangkap ikan tuna. Observasi ke laut juga pernah dilakukan dengan mengikutkan tenaga peneliti untuk bergabung di kapal milik PT Intimas.
Dari pemantauan tersebut diketahui berat rata-rata ikan tuna yang ditangkap di perairan Samudra Hindia yang meliputi wilayah selatan Pulau Sumatra, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. “Jika pada 2002 berat ikan tuna yang ditangkap rata-rata berbobot di atas 30 kg, sekarang di bawah 25 kg. Ini merupakan indikasi terjadinya overfishing,” kata Budi.
Dengan ukuran tersebut, tentunya tidak sesuai dengan permintaan pembeli yang telah mematok ukuran berat di atas 25 kg. Namun, karena sulitnya mendapatkan ikan tuna, ukuran pun tidak dipermasalahkan dan tetap dibeli. ”Bahkan pernah ada yang berukuran 18 kg, namun tetap dibeli. Mereka terpaksa me-ngambil karena ikan tuna sedang tidak ada,” kata Budi. Selain ukuran yang mengecil, jarak penangkapan juga semakin jauh. “Dulu daerah penangkapan masih dekat, di sekitar 12 sampai 14 lintang selatan, namun sekarang daerah tangkapan sudah semakin menjauh dari pantai,” Budi menjelaskan.
Dulu dengan jarak 12 sampai 14 lintang selatan, dalam waktu satu sampai dua bulan nelayan sudah bisa pulang membawa ikan. Sekarang dibutuhkan waktu yang lebih lama. “Untuk bisa mendapatkan produksi yang sama, mereka sekarang harus beroperasi selama satu tahun di laut,” ujar Budi.
Artikel selengkapnya bisa anda baca di Majalah SAINS Indonesia Edisi 09
Penurunan Ukuran Dewasa yang Matang Gonad Tuna Sirip Kuning
Di Samudera Hindia dan Fasifik
Ukuran panjang untuk pertama kali matang gonad pada ikan atau First maturity length, merupakan salah satu acuan utama dalam menentukan ukuran ikan yang layak tangkap. Meskipun di Indonesia belum ada peraturan dari pemerintah mengenai ukuran ikan yang boleh ditangkap atau ukuran boleh tangkap (UBT) untuk setiap jenis ikan, tetapi informasi UBT seharusnya sudah dapat disosialisasikan berdasarkan data hasil penelitian. Informasi UBT harus selalu dimutakhirkan karena ukuran ikan berubah sesuai kondisi lingkungannya. Salah satu kondisi lingkungan yang dapat menyebabkan perubahan ukuran matang gonad ikan untuk acuan UBT adalah tekanan akibat penangkapan yang berlebih (over fishing). Karena populasi yang semakin berkurang oleh mortalitas penangkapan, maka secara alami ada tuntutan melanjutkan generasi, sehingga suatu jenis ikan akan dewasa lebih cepat secara alami dengan ukuran yang lebih kecil daripada ukuran induk sebelumnya. Salah satu jenis ikan ekonomis penting yang telah diteliti pada beberapa lokasi di bagian tuna sirip kuning Pasifik dan Hindia adalah tuna sirip kuning. Meskipun belum ada data yang memadai mengenai ukuran pertama kali matang gonad ikan tuna sirip kuning di Indonesia, tetapi beberapa hasil penelitian tersebut dapat mewakili kondisi di Indonesia karena posisi geografis yang di antara tuna sirip kuning Pasifik dan Hindia.
Jumlah sampel tuna sirip kuning yang diteliti bervariasi yaitu 495 sampai 3.535 ekor, dengan lama penelitian juga bervariasi yaitu beberapa bulan pada musim puncak penangkapan sampai 3 tahun. Metode pengukurannya adalah mengamati tingkat kematangan gonad (TKG) ikan sampel dan beberapa pengukuran karakter biologis lainnya. Umumnya penelitian ini dilakukan disepanjang ekuator atau samudra Pasifik dan Hindia yang beriklim tropis, kondisinya kurang lebih sama dengan perairan laut Indonesia. Dan kemungkinan besar ikan tuna sirip kuning yang diteliti tersebut adalah tuna yang akan dan telah bermigrasi melewati perairan Indonesia, yaitu dari Pasifik pada bagian timur dan utara Indonesia menuju Hindia bagian selatan dan barat Indonesia.
Data yang dikumpulkan tersebut merupakan hasil penelitian dilaksanakan mulai tahun 1989 – 2010. Jadi ada tren data selama 21 tahun. Jika data ukuran Lm tersebut diregresikan secara sederhana dengan hanya mengambil ukuran Lm terbesar pada tahun yang sama, maka tren ukuran Lm dapat dilihat pada gambar grafik berikut:
Penurunan ukuran Lm dapat dilihat pada grafik trendline di atas dan nilai regresi yang positif (0,3556) yang menunjukkan hubungan linier penurunan Lm dari tahun ke tahun. Penurunan ukuran induk ikan tuna sirip kuning dapat disebabkan beberapa faktor diantaranya jumlah makanan yang tidak mencukupi, sifat genetik yang berubah, penyakit dan tekanan eksploitasi yang menurunkan jumlah populasi sehingga harus memijah lebih cepat. Sumber tulisan ini belum mengkaji faktor-faktor ini, tetapi asumsi yang paling memungkinkan terjadi adalah penurunan ukuran ini disebabkan oleh tekanan eksploitasi ikan tuna secara besar-besaran yang terjadi selama dua dekade terakhir. Penangkapan tuna semakin massif di seluruh bagian lautan di seluruh dunia, mulai dari daerah perairan laut dekat pesisir oleh nelayan kecil sampai bagian samudera yang luas dan terjauh oleh kapal-kapal tuna longline besar.
Penangkapan ikan tuna dilakukan hampir setiap hari sepanjang tahun, dimana sebagian besar belum dibatasi ukuran, jumlah dan lokasinya. Berdasarkan hal ini, pengaturan penangkapan ikan tuna oleh pemerintah semakin dibutuhkan untuk menjaga keberlangsungan stok dan kesinambungan mata pencaharian nelayan, khususnya di Indonesia. Data ini dapat memberikan gambaran dan informasi awal mengenai UBT ikan tuna sirip kuning di Indonesia. Data hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya penurunan ukuran dewasa yang matang gonad dari tahun ke tahun. Berikut ini adalah data First maturity length(Lm) berdasarkan ukuran panjang cagak atau fork length (FL) dari hasil beberapa penelitian biologi reproduksi ikan tuna sirip kuning yang tertangkap di tuna sirip kuning Pasifik dan Hindia, beserta peneliti dan waktu penelitiannya.
Tahun
Penelitian |
FL (cm)
|
Peneliti
|
Lokasi
|
1989
|
140.00
|
Shung (1973) dan Stequer and Marsac
|
Indian Ocean
|
1991
|
120.00
|
Hassani and Stequert
|
Indian Ocean
|
1991
|
115.00
|
McPherson
|
Western Pacific Ocean
|
1991
|
108.00
|
Bashmaker
|
Westen Indian Ocean
|
1995
|
105.00
|
Itano
|
Western Tropical Pacific Ocean
|
1998
|
92.00
|
Schaefer
|
Eastern Pascific Ocean
|
1999
|
134.50
|
Froese
|
Indian Ocean
|
2000
|
134.50
|
Itano
|
western tropical Pacific
|
2000
|
104.00
|
Romena
|
Indian Ocean
|
2002
|
116.31
|
Chi-lu Sun, Wei-Ren Wang and Suzan Yeh
|
Western Pacific
|
2002
|
95.00
|
Prathibha rohit and K. Rammohan
|
Andhara Coast, Indian Ocean
|
2003
|
110.00
|
Nootmorn, Yakoh and Kawises
|
Eastern Indian Ocean
|
2003
|
104.95
|
IOTC
|
Indian Ocean
|
2005
|
120.20
|
Fonteneau
|
Indian Ocean
|
2005
|
100.00
|
Zhu Guoping dan Xu Liuxiong
|
West-central Indian ocean
|
2008
|
100.00
|
Zhu et al dan SPC
|
Indian Ocean
|
2009
|
100.00
|
IOTC
|
Indian Ocean
|
2010
|
77.80
|
IOTC
|
Western and central Indian Ocean
Sumber :
Majalah Sains indonesia.
Dikutip dari tulisan : Muhammad Yusuf, Koordinator Sains dan Pelatihan Perikanan, WWF-Indonesia – myusuf@wwf.or.id
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar