Jadilah yang Pertama

"baik atau buruk informasi yang anda sampaikan, yang pertama akan selalu diingat"

Rabu, 19 Juni 2013

RUU Perlindungan & Pemberdayaan Nelayan Perlu dalam Mensejahterakan Masyarakat Nelayan


Perlindungan pemerintah terhadap nelayan di Tanah Air kian menurun. Kinerja penyediaan bahan bakar minyak bagi nelayan yang tersendat-sendat di sejumlah sentra perikanan membuat nelayan terancam semakin sulit berproduksi. Hal ini seperti dikatakan oleh Direktur Eksekutif Indonesia Global Justice (IGJ) Riza Damanik, saat dihubungi dari Jakarta-Kompas, Sabtu (25/5), mengemukakan, bahan bakar minyak (BBM) merupakan kebutuhan utama nelayan untuk berproduksi, yakni 60 persen dari biaya operasional melaut. Akan tetapi, penyediaan sarana pemasok BBM, berupa sarana pengisian bahan bakar nelayan (SPBN) ataupun kios penyediaan solar nelayan (solar packed dealer nelayan/SPDN) terus menurun.
ahun 2012, dari target pembangunan SPDN sebanyak 53 unit di sentra-sentra nelayan, yang bisa beroperasi hanya 5 unit. Kegagalan penyediaan SPDN membuat nelayan kian kehilangan akses melaut dan terbebani ongkos semakin tinggi karena harus membeli BBM eceran dengan harga lebih mahal. Hal itu juga mengindikasikan penyelewengan BBM bersubsidi untuk nelayan.
”Kinerja realisasi SPDN yang buruk menunjukkan minimnya keberpihakan negara terhadap nelayan,” ujar Riza.
Di sejumlah sentra perikanan, nelayan kerap bergantung pada BBM eceran yang harganya jauh lebih mahal akibat SPDN tidak tersedia dan sulit terjangkau. Kalaupun ada, pasokan BBM nelayan lebih banyak dinikmati kapal-kapal besar berkapasitas di atas 30 gros ton (GT).
Presidium Serikat Nelayan Indonesia (SNI) Cirebon Budi Laksana mengungkapkan, SPDN yang sudah dibangun kerap tidak beroperasi maksimal untuk memasok BBM subsidi. Akibatnya, nelayan harus bergantung pada pengepul untuk membeli solar.
Di SPDN Gebang, Cirebon, pasokan BBM tidak setiap hari tersedia. SPDN bahkan kerap tutup. Padahal, nelayan di Gebang didominasi oleh nelayan kecil dengan kapasitas 5-10 GT yang melaut harian atau paling lama seminggu. Nelayan terpaksa membeli BBM eceran dari pengepul dengan harga lebih mahal. Saat ini, harga BBM eceran mencapai Rp 5.500-Rp 6.000 per liter.
”SPDN tidak efektif menyediakan kebutuhan BBM subsidi. Akibatnya, ketergantungan nelayan kepada pengepul tidak hanya sebatas jual-beli ikan, tetapi sejak dari penyediaan alat produksi,” ujarnya.
Di sisi lain, tidak seluruh kios ataupun stasiun pengisian bahan bakar nelayan di pangkalan pendaratan ikan memiliki data akurat terkait jumlah nelayan. Akibatnya, pencatatan penyaluran BBM bersubsidi rentan disalahgunakan. 

Sebelumnya, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mendesak presiden dan DPR segera membahas RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan sebagai bentuk keseriusan negara untuk melindungi dan menyejahterakan masyarakat nelayan, Senin, 20 Mei 2013.
Sejalan dengan FAO yang membahas intrumen perlindungan nelayan tradisional, RUU Perlindungan Nelayan telah menjadi Prioritas Program Legislasi Nasional 2010-2014, demikian siaran pers Kiara yang diterima Bisnis, Senin (20/5/2013).
Dengan masuknya RUU Perlindungan Nelayan ke dalam prioritas Prolegnas 2010-2014, DPR berperan penting untuk menyegerakan hadirnya negara melalui instrumen perlindungan nelayan tradisional di Indonesia yang jumlahnya lebih kurang 2,7 juta jiwa nelayan. Sebanyak 95,6% adalah nelayan tradisional yang beroperasi di sekitar pesisir pantai atau beberapa mil saja dari lepas pantai.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa mulai melakukan Konsultasi Teknis terhadap Pedoman Internasional untuk Keamanan dan Keberlanjutan Perikanan Skala Kecil yang akan berlangsung 20-24 Mei 2013 di Roma, Italia. Perwakilan Delegasi Republik Indonesia akan diwakili kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Konsultasi Teknis FAO yang akan berlangsung di Roma merupakan tindak lanjut dari konsultasi publik yang telah dilakukan Kiiara bekerja sama dengan Aliansi untuk Desa Sejahtera dan The International Collective in Support of Fishworkers (ICSF) di empat tempat. Konsultasi publik yang dilakukan bersama organisasi masyarakat sipil dan mitra kerja itu berlangsung di  Mataram (Nusa Tenggara Barat),  Surabaya (Jawa Timur), Banda Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam), dan Balikpapan (Kalimantan Timur).
Selain di Indonesia, pertemuan digelar di Amerika Latin dan Afrika yaitu Brazil, Costa Rica, El Salvador, Honduras, Pantai Gading,  Kenya, Nicaragua, Panama, Senegal, Afrika Selatan, Tanzania, dan Uganda. Di Asia konsultasi dilakukan oleh Bangladesh, India, Indonesia, Malaysia, Myanmar, Pakistan, Filipina, Sri Lanka, Thailand, dan Vietnam.
Untuk mematangkan  pedoman tersebut, telah diadakan pertemuan yang diikuti jaringan kerja organisasi masyarakat sipil di tingkat Asia di Ilo Ilo, Filipina pada 22 September 2012. Pertemuan tersebut diikuti berbagai negara di Asia yaitu India, Pakistan, Sri Lanka, Filipina, Vietnam, Bangladesh, Myanmar, dan Malaysia.
Dari konsultasi publik yang dilakukan di Indonesia, dihasilkan dua poin rumusan perlindungan nelayan tradisional. Pertama,  pemenuhan perlindungan dan pemenuhan hak-hak warga negara sebagaimana hak asasi manusia dalam hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial, dan hak untuk berbudaya.
Kedua, pedoman perlindungan nelayan tradisional harus mencakup Hak-hak Nelayan Tradisional yang telah dirumuskan dan harus dilindungi melalui instrumen perlindungan nelayan.

Sumber. http://www.bisnis.com, http://regional.kompas.com


Tidak ada komentar:

Entri Populer