Jadilah yang Pertama

"baik atau buruk informasi yang anda sampaikan, yang pertama akan selalu diingat"

Selasa, 25 Juni 2013

Pisah Sambut Kepala Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung



Bitung. Jum'at 21 Juni 2013 telah dilaksanakan acara Pisah Sambut Kepala Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung dari bapak Ir. Mian Sahala Sitanggang, MBA kepada bapak Ir. Frits Penehas Lessnusa, M.Si. Acara bertempat di aula PPS Bitung ini berlangsung secara hikmat, dihadiri oleh seluruh staf pegawai pelabuhan, perwakilan dari Unit Pelaksana Teknis KKP yang berada di Propinsi Sulawesi Utara, Pemerintah Daerah, pengusaha perikanan, dan semua stakeholder perikanan lainnya. 

Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas dukungan dan kerjasama kepada seluruh staf pegawai pelabuhan, Pemerintah daerah, pengusaha perikanan dan semua stakeholder perikanan atas dukungan dan kerja samanya selama beliau bertugas sampai saat sekarang, merupakan sepenggalan kata sambutan oleh bapak Mian pada kesempatan tersebut. Beliau masih memiliki suatu harapan yang belum tercapai, yakni PPS Bitung bisa menjadi Pelabuhan Perikanan Internasional setara Pelabuhan Genderal Santos di Filipina. Harapan kepada kalabuh yang baru agar kondisi ini bisa terwujud, mengingat sebagian ikan yang mendarat di pelabuhan Genderal Santos diduga berasal dari Bitung. Terakhir, beliau memohonkan maaf atas segala khilaf dan salah yang pernah dilakukan selama menjabat sebagai kepala PPS Bitung.

Sedangkan, dalam sambutan kalabuh yang baru, bapak Frits sangat mengharapakan dukungan dan kerja sama dari semua pihak untuk dapat membangun kelautan dan perikanan di Sulawesi Utara, khususnya PPS Bitung bisa lebih maju. Beliau berjanji untuk mempertahankan apa yang sudah di raih serta akan membenahi segala kekurangan yang ada. Salah satu target yang akan dicapai adalah pengendalian produksi ikan di Bitung. Menurut beliau data produksi ikan yang didaratkan di dalam pelabuhan maupun di luar pelabuhan tidak sebanding dengan jumlah kapal yang ada di kota Bitung. Salah satu cara yang akan segera dilakukan adalah pendataan jumlah armada serta produksi pendaratan ikan di kolam PPS Bitung. Hal ini dibutuhkan sinergitas antara PEMDA setempat serta semua stakeholder perikanan yang ada di Bitung. Beliau juga menerima kritikan dan masukan, serta siap ditegur apabila nantinya melakukan kesalahan. 

Dalam acara ini dimeriahkan oleh paduan suara dari Dharma wanita PPS Bitung, serta penampilan lagu dan puisi yang dibawakan oleh pegawai PPS Bitung. Pada kesempatan itu juga dilakukan penyerahan berkas Serah Terima Jabatan dan pemberian cendera mata kepada bapak Mian. 


Terakhir Ucapan Terima Kasih Atas Karya Bhakti Bapak Ir. Mian Sahala Sitanggang, MBA. Walaupun bapak telah sampai masa purna bhaktinya, tapi kami masih butuh sumbangsih pikiran bapak. Semoga bapak masih tetap mau membagi pengalaman dan ilmunya kepada kami untuk memajukan Kelautan Perikanan Indonesia.
Dan ucapan Selamat Datang dan Selamat Bertugas kepada bapak Ir. Frits Penehas Lessnusa, M.Si.  Semoga bapak bisa mengukir prestasi, mencetak keberhasilan , mempertahankan apa yang sudah di raih serta segala tujuan dan cita-cita bisa terwujud. Kami semua mendukung bapak !!!

Rabu, 19 Juni 2013

KARTU NELAYAN : WUJUD PROGRAM PENINGKATAN KEHIDUPAN NELAYAN


Penerbitan Kartu Nelayan merupakan wujud penghargaan pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan terhadap profesi nelayan. Kepemilikan Kartu Nalayan, diharapkan menjadi materi kongkret proses pemberdayaan nelayan sebagai mitra pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan upaya juga peni...ngkatan pendapatan secara berkelanjutan, efektif dan tepat sasaran. Hal ini sebagai upaya juga untuk melindungi nelayan dari intervensi adanya migrasi dari profesi lainnya yang ikut menangkap ikan tanpa izin, sehingga dikemudian hari, hanya pemegang kartu yang boleh melakukan penangkapan ikan di laut secara sah.
Kartu Nelayan dapat menjadi instrumen bagi Dinas Kelautan dan Perikanan, KKP dan Kementrian/Lembaga Pemerintah saat memberikan pembinaan dan bantuan penguatan usaha kepada nelayan sehingga lebih tepat sasaran. Selama ini pemerintah masih kesulitan dalam menentukan katagori nelayan miskin/lemah termarginalisasi butuh perhatian yang sangat serius, sehingga perlu melakukan treatment agar bantuan terhadap nelayan dapat dijangkau dan lebih focus tepat sasaran.
Nelayan untuk mendapatkan Kartu ini, harus memiliki ada 3 (tiga) syarat, yaitu:
1. Mempunyai Kartu Tanda Penduduk (KTP).
2. Direkomendasikan dari lingkungan sebagai nelayan, yaitu dari RT dan RW atau Kepala Desa, dan
3. Dikenal dan diperhatikan oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota selaku Pembina teknis perikanan tangkap.

Realisasi kegunaan Kartu Nelayan yang sudah dilaksanakan diberbagai daerah di Indonesia diantaranya :
1) Bukti identitas profesi nelayan diwilayah Negara kesatuan republik Indonesia (11 WPPNRI).
2) Sebagai database daerah dan Nasional perkembangan kapasitas nelayan di 11 WPPNRI guna pengendalian sumberdaya ikan dan penyediaan lapangan kerja nelayan secara rasional berkelanjutan.
3) Referensi data bukti identitas tepat sasaran kepada nelayan dalam pemebelian BBM bersubsidi dari pertamina yang telah digunaka didaerah PPN Pelabuhan Ratu, PPS Bitung, Kota Tarakan.
4) Referensi pembuatan jamkesda telah dilaksanakan di PPN Pekalongan.
5) Salah satu syarat bagi Nelayan agar tepat sasaran Penerima PUMP (program usaha mina perdesaan) perikanan tangkap.
6) Salah syarat agar tepat sasaran Penerima SeHAT (Sertifikat Hak Atas Tanah nelayan).
7) Pelaporan keselamatan kerja nelayan dan informasi cuaca melalui SMS Gateway. Salah satu syarat bagi nelayan agar tepat sasaran mendapat program bimbingan teknis perikanan tangkap.
9) Salah satu syarat agar tepat sasaran bagi nelayan yg mendapatkan Asuransi Jamsostek nelayan. Contoh sudah dilakukan di Sumatera Utara.
10) Salah satu syarat tepat sasaran dalam nelayan mendapatkan bantuan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) ketika musim gelombang tinggi tidak bisa melaut.

RUU Perlindungan & Pemberdayaan Nelayan Perlu dalam Mensejahterakan Masyarakat Nelayan


Perlindungan pemerintah terhadap nelayan di Tanah Air kian menurun. Kinerja penyediaan bahan bakar minyak bagi nelayan yang tersendat-sendat di sejumlah sentra perikanan membuat nelayan terancam semakin sulit berproduksi. Hal ini seperti dikatakan oleh Direktur Eksekutif Indonesia Global Justice (IGJ) Riza Damanik, saat dihubungi dari Jakarta-Kompas, Sabtu (25/5), mengemukakan, bahan bakar minyak (BBM) merupakan kebutuhan utama nelayan untuk berproduksi, yakni 60 persen dari biaya operasional melaut. Akan tetapi, penyediaan sarana pemasok BBM, berupa sarana pengisian bahan bakar nelayan (SPBN) ataupun kios penyediaan solar nelayan (solar packed dealer nelayan/SPDN) terus menurun.
ahun 2012, dari target pembangunan SPDN sebanyak 53 unit di sentra-sentra nelayan, yang bisa beroperasi hanya 5 unit. Kegagalan penyediaan SPDN membuat nelayan kian kehilangan akses melaut dan terbebani ongkos semakin tinggi karena harus membeli BBM eceran dengan harga lebih mahal. Hal itu juga mengindikasikan penyelewengan BBM bersubsidi untuk nelayan.
”Kinerja realisasi SPDN yang buruk menunjukkan minimnya keberpihakan negara terhadap nelayan,” ujar Riza.
Di sejumlah sentra perikanan, nelayan kerap bergantung pada BBM eceran yang harganya jauh lebih mahal akibat SPDN tidak tersedia dan sulit terjangkau. Kalaupun ada, pasokan BBM nelayan lebih banyak dinikmati kapal-kapal besar berkapasitas di atas 30 gros ton (GT).
Presidium Serikat Nelayan Indonesia (SNI) Cirebon Budi Laksana mengungkapkan, SPDN yang sudah dibangun kerap tidak beroperasi maksimal untuk memasok BBM subsidi. Akibatnya, nelayan harus bergantung pada pengepul untuk membeli solar.
Di SPDN Gebang, Cirebon, pasokan BBM tidak setiap hari tersedia. SPDN bahkan kerap tutup. Padahal, nelayan di Gebang didominasi oleh nelayan kecil dengan kapasitas 5-10 GT yang melaut harian atau paling lama seminggu. Nelayan terpaksa membeli BBM eceran dari pengepul dengan harga lebih mahal. Saat ini, harga BBM eceran mencapai Rp 5.500-Rp 6.000 per liter.
”SPDN tidak efektif menyediakan kebutuhan BBM subsidi. Akibatnya, ketergantungan nelayan kepada pengepul tidak hanya sebatas jual-beli ikan, tetapi sejak dari penyediaan alat produksi,” ujarnya.
Di sisi lain, tidak seluruh kios ataupun stasiun pengisian bahan bakar nelayan di pangkalan pendaratan ikan memiliki data akurat terkait jumlah nelayan. Akibatnya, pencatatan penyaluran BBM bersubsidi rentan disalahgunakan. 

Sebelumnya, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mendesak presiden dan DPR segera membahas RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan sebagai bentuk keseriusan negara untuk melindungi dan menyejahterakan masyarakat nelayan, Senin, 20 Mei 2013.
Sejalan dengan FAO yang membahas intrumen perlindungan nelayan tradisional, RUU Perlindungan Nelayan telah menjadi Prioritas Program Legislasi Nasional 2010-2014, demikian siaran pers Kiara yang diterima Bisnis, Senin (20/5/2013).
Dengan masuknya RUU Perlindungan Nelayan ke dalam prioritas Prolegnas 2010-2014, DPR berperan penting untuk menyegerakan hadirnya negara melalui instrumen perlindungan nelayan tradisional di Indonesia yang jumlahnya lebih kurang 2,7 juta jiwa nelayan. Sebanyak 95,6% adalah nelayan tradisional yang beroperasi di sekitar pesisir pantai atau beberapa mil saja dari lepas pantai.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa mulai melakukan Konsultasi Teknis terhadap Pedoman Internasional untuk Keamanan dan Keberlanjutan Perikanan Skala Kecil yang akan berlangsung 20-24 Mei 2013 di Roma, Italia. Perwakilan Delegasi Republik Indonesia akan diwakili kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Konsultasi Teknis FAO yang akan berlangsung di Roma merupakan tindak lanjut dari konsultasi publik yang telah dilakukan Kiiara bekerja sama dengan Aliansi untuk Desa Sejahtera dan The International Collective in Support of Fishworkers (ICSF) di empat tempat. Konsultasi publik yang dilakukan bersama organisasi masyarakat sipil dan mitra kerja itu berlangsung di  Mataram (Nusa Tenggara Barat),  Surabaya (Jawa Timur), Banda Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam), dan Balikpapan (Kalimantan Timur).
Selain di Indonesia, pertemuan digelar di Amerika Latin dan Afrika yaitu Brazil, Costa Rica, El Salvador, Honduras, Pantai Gading,  Kenya, Nicaragua, Panama, Senegal, Afrika Selatan, Tanzania, dan Uganda. Di Asia konsultasi dilakukan oleh Bangladesh, India, Indonesia, Malaysia, Myanmar, Pakistan, Filipina, Sri Lanka, Thailand, dan Vietnam.
Untuk mematangkan  pedoman tersebut, telah diadakan pertemuan yang diikuti jaringan kerja organisasi masyarakat sipil di tingkat Asia di Ilo Ilo, Filipina pada 22 September 2012. Pertemuan tersebut diikuti berbagai negara di Asia yaitu India, Pakistan, Sri Lanka, Filipina, Vietnam, Bangladesh, Myanmar, dan Malaysia.
Dari konsultasi publik yang dilakukan di Indonesia, dihasilkan dua poin rumusan perlindungan nelayan tradisional. Pertama,  pemenuhan perlindungan dan pemenuhan hak-hak warga negara sebagaimana hak asasi manusia dalam hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial, dan hak untuk berbudaya.
Kedua, pedoman perlindungan nelayan tradisional harus mencakup Hak-hak Nelayan Tradisional yang telah dirumuskan dan harus dilindungi melalui instrumen perlindungan nelayan.

Sumber. http://www.bisnis.com, http://regional.kompas.com


Senin, 17 Juni 2013

Pelantikan Pejabat Eselon II KKP Juni 2013



Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif C. Sutardjo melantik 29 Pejabat Eselon II Lingkup Kementerian Kelautan dan Perikanan, Rabu 5/6/2013 bertempat di GF Gedung Mina Bahari I Jakarta Pusat. 


SALINAN LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP. 04/MEN-KP/KP.430/2013
TANGGAL : 3 Juni 2013


I DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN TANGKAP
1 Dr. Ir. Toni Ruchimat, M.Sc Direktur Sumber Daya Ikan
2 Ir. Tyas Budiman, M.M. Direktur Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan
3 Ir. Alifsyah Bambang Sutejo,M.Si Direktur Pelabuhan Perikanan
4 Ir. Edi Wahyudi, M.Si Direktur Pengembangan Usaha Penangkapan Ikan

II DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA
1 Ir. Moh. Abduh Nurhidajat,M.Si Sekretaris Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya
2 Ir. Dwika Herdikiawan, M.M. Direktur Prasarana dan Sarana Budidaya
3 Dr.Drs.Djumbuh Rukmono, M.P Direktur Perbenihan
4 Dr. Ir. Tri Haryanto, M.M. Direktur Usaha Budidaya
5 Ir. Coco Kokarkin Soetrisno,M.Sc Direktur Produksi

III DIREKTORAT JENDERAL PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PERIKANAN
1 Ir. Artati Widiarti, M.A Direktur Pemasaran Luar Negeri

IV DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
1 Ir. Agus Dermawan,M.Si Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan
2 Ir. Rido Miduk Sugandi Batubara, M.Si Direktur Pendayagunaan Pulau-pulau Kecil

V. DIREKTORAT JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
1 Ir. Budi Halomoan,M.Si Direktur Kapal Pengawas
2 Drs. Lapis Silalahi, MM Direktur Penanganan Pelanggaran
3 Ir. Nasfri Adisyahmeta Yusar, MM Direktur Pengawasan Sumber Daya Kelautan

V.I INSPEKTORAT JENDERAL
1 Ir. Herman Suherman, M.M Inspektur V

VII. BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA KELAUTAN DAN PERIKANAN
1 Ir. Rina, M.Si Kepala Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan

VIII BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
1 Dr. Hari Eko Irianto
Kepala Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan
Konservasi Sumber Daya Ikan
2 Dr.Ir. Tri Heru Prihadi, M.Sc
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perikanan Budidaya



UNIT PELAKSANA TEKNIS

I DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN TANGKAP
1 Ir. Wahid, M.Si Kepala Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap
2 Ir. Bambang Ariadi, M.M.
Kepala Balai Besar Pengembangan Penangkapan
Ikan Semarang
3 Ir. Jainur Manurung, M.M. Kepala Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan
4 Ir. Arief Rahman Lamatta, M.M. Kepala Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari
5 Ir. Frits Penehes Lesnusa,M.Si Kepala Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung

II DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA
1 Ir. Tatie Sri Paryanti, M.M.
Kepala Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut
Lampung

III DIREKTORAT JENDERAL PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PERIKANAN
1 Ir. Rahmah Hayati Samik Ibrahim, M.M.
Kepala Balai Besar Pengembangan dan
Pengendalian Hasil Perikanan

IV BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
1 Dr. Ir. Rudhy Gustiano, M.Sc
Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Budidaya Laut
2 Dr. Ir. Agus Heri Purnomo, M.Sc
Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan
Perikanan
3 Indra Sakti,S.E.,M.M.
Kepala Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi



Kelautan dan Perikanan
Menteri Kelautan dan Perikanan
Sharif C. Sutardjo







Sumber Berita: www.ropeg.kkp.go.id


http://www.ropeg.kkp.go.id/berita-pelantikan-pejabat-eselon-ii-kkp-juni-2013.html#ixzz2WQnE9X1g

Selasa, 04 Juni 2013

Materi Penyuluhan : Penangkapan Ikan Yang Merusak dan Tidak Ramah Lingkungan

PENDAHULUAN 

Degradasi ekosistem terumbu karang secara umum disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor alami (autogenic causes) seperti bencana alam dan aktivitas manusia (antrophogeniccauses) baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa aktivitas manusia di darat sepertipertanian yang menggunakan pupuk organik, anorganik dan pestisida dapat mempengaruhikehidupan organisme yang hidup dalam ekosistem ini karena sebagian dari bahan-bahan tersebuthanyut ke laut melalui aktivitas run-off.
Selain itu, penebangan hutan yang tidak terkontrol jugamengakibatkan erosi dimana akan berdampak pada tingginya laju sedimentasi yang masuk kedalam perairan laut sehingga menutupi polip-polip karang. Aktivitas manusia lainnya yang jugamerusak ekosistem terumbu karang secara langsung adalah penangkapan ikan tidak ramahlingkungan dengan menggunakan bahan-bahan berbahaya seperti sianida dan bahan peledak yangdapat menyebabkan kematian hewan-hewan karang dan kerusakan secara fisik terumbu karang.Penggunaan bahan peledak dan racun dalam penangkapan ikan karang menimbulkan efek samping yang sangat besar. Selain rusaknya terumbu yang ada di sekitar lokasi peledakan, jugadapat menyebabkan kematian organisme lain yang bukan merupakan target. Sementara praktek pembiusan dapat mematikan zooxanthella hewan penyusun karang sehingga karang menjadiberubah warna yang akhirnya mati serta ikan-ikan lainnya ikut mati yang tidak menjadi target.Oleh sebab itu, penggunaan bahan peledak (bom) dan bahan beracun (potas) berpotensimenimbulkan kerusakan yang luas terhadap ekosistem terumbu karang.
PENANGKAPAN IKAN YANG MERUSAK
 1. Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak
a. Awalnya, penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak diperkenalkan di Indonesia pada masa perang dunia ke dua. Penangkapan ikan dengan cara ini sangat banyak digunakan, sehingga sering dianggap sebagai cara penangkapan ikan “tradisional” (Pet-Soede dan Erdmann, downloaded 30 October 2006, 09.18, http://www.spc.int/coastfish/news/LRF/4/erdmann.htm).


Penangkapan Ikan Menggunakan Bahan Peledak

b. Meskipun peledak yang digunakan berubah dari waktu ke waktu hingga yang paling sederhana yaitu dengan menggunakan minyak tanah dan pupuk kimia dalam botol, cara penangkapan yang merusak ini pada dasarnya sama saja. Para penangkap ikan mencari gerombol ikan yang terlihat dan didekati dengan perahunya. Dengan jarak sekitar 5 meter, peledak yang umumnya memiliki berat sekitar satu kilogram ini dilemparkan ke tengah tengah gerombol ikan tersebut. Setelah meledak, para nelayan tersebut memasuki wilayah perairan untuk mengumpulkan ikan yang mati atau terkejut karena gelombang yang dihasilkan ledakan dengan menyelam langsung atau dengan menggunakan kompresor.
Ledakan tersebut dapat mematikan ikan yang berada dalam 10 hingga 20 m radius peledak dan dapat menciptakan lubang sekitar satu hingga dua meter pada terumbu karang tempat ikan tersebut tinggal dan berkembang biak.
c. Para penangkap ikan yang menggunakan cara peledakan biasanya mencari ikan yang hidupnya bergerombol. Ikan-ikan karang yang berukuran besar seperti bibir tebal dan kerapu yang biasa hidup di bawah terumbu karang menjadi sasaran utamanya. Ikan ekor kuning hidup di sepanjang tubir, atau ikan kakaktua dan kelompok ikan surgeonfish, juga menjadi sasaran peledakan. Karena besarnya gelombang ledakan, terkadang ikan yang ada di tepi perairan terbuka pun sering menjadi sasaran. Ikan-ikan tersebut antara lain ikanmackerel dan ikan sarden.

d. Terumbu karang yang terkena peledakkan secara terus menerus, seringkali tinggal puing-puing belaka. Terumbu karang dalam yang rusak ini sulit sekali untuk dipulihkan, karena kondisinya yang berupa puing dan tidak stabil, di atas substrat seperti ini larva karang sulit untuk tumbuh dan berkembang biak (lihat Buku Panduan Mengenai Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Lainnya). Selain itu, terumbu karang mati ini tidak lagi menarik bagi ikan dewasa yang berpindah dan mencari tempat tinggal untuk membesarkan anakan ikannya, sehingga menurunkan potensi perikanan di masa datang. Selain itu, peledakan terumbu karang juga menyebabkan banyaknya ikan dan organisme yang hidup dalam komunitas terumbu karang tersebut, yang bukan merupakan sasaran penangkap ikan, turut mati.
d. Penangkapan ikan dengan peledak seperti ini merupakan tindakan yang melanggar hukum dan lebih banyak dijumpai di wilayah Indonesia timur. Hal ini karena populasi manusia yang lebih rendah menyebabkan berkurangnya peluang untuk tertangkap oleh patroli polisi lebih kecil. Selain itu, di perairan wilayah barat Indonesia menunjukkan ketersediaan ikan yang telah sangat berkurang, sehingga menangkap ikan dengan menggunakan peledak tidak lagi menguntungkan (Pet-Soede dan Erdmann, downloaded 30 October 2006, 09.18, http://www.spc.int/ coastfish/news/LRF/4/erdmann.htm).

2. Menggunakan Racun Sianida

a. Penggunaan racun sianida ini (sodium sianida) yang dilarutkan dalam air laut banyak digunakan untuk menangkap ikan atau organisme yang hidup di terumbu karang dalam keadaan hidup. Racun sianida yang sering disebut sebagai “bius” biasanya merupakan cara favorit untuk menangkap ikan hias, ikan karang yang dimakan (seperti keluarga kerapu dan Napoleon wrasse), dan udang karang (Panulirus spp.).

 
Racun Sianida
b. Pada dasarnya, penangkapan ikan seperti ini melibatkan penyelam langsung atau menggunakan kompresor yang membawa botol berisi cairan sianida dan kemudian disemprotkan ke ikan sasaran untuk mengejutkannya. Dalam jumlah yang memadai, racun ini membuat ikan atau organisme lain yang menjadi sasaran "terbius" sehingga para penangkap ikan dengan mudah mengumpulkan ikan yang pingsan tersebut. Seringkali, ikan dan udang karang yang menjadi target lalu bersembunyi di dalam terumbu, dan para penangkap ikan ini membongkar terumbu karang untuk menangkap ikan tersebut.

c. Cairan sianida yang digunakan untuk menangkap ikan berukuran besar, biasanya berupa larutan pekat yang dapat mematikan sejumlah organisme yang hidup di terumbu karang, termasuk ikan-ikan kecil, invertebrata yang bergerak, dan yang paling parah, racun sianida juga mematikan karang keras.

d. Racun sianida, bukan saja mencemari ekosistem terumbu karang yang dapat mematikan organisme yang tidak menjadi sasaran. Terumbu karang dapat rusak karena dibongkar oleh para penangkap ikan untuk mengambil ikan yang terbius tersebut di rongga-rongga di dalam terumbu. Selain itu, dalam jangka waktu yang lama, ekosistem yang terkena racun sianida yang terus menerus dapat memberikan dampak buruk bagi ikan dan organisme lain dalam komunitas terumbu karang, juga bagi manusia.

3. Bubu

a. Alat tangkap Bubu adalah jerat yang terbuat dari anyaman bambu yang banyak digunakan di seluruh Indonesia. Belakangan ini, Bubu kembali popular karena digunakan untuk penangkapan ikan perdagangan ikan karang hidup.

 
Alat Tangkap Bubu
b. Meskipun pada dasarnya alat ini tidak merusak, namun pemasangan dan pengambilannya sering kali merusak terumbu karang. Bubu biasanya dipasang dan diambil oleh para penangkap ikan dengan cara menyelam dengan menggunakan kompresor. Dibandingkan dengan penangkapan yang merusak lainnya, Bubu tidak terlalu merusak karena biasanya diletakkan di dasar lereng terumbu. Seringkali, perangkap tersebut disamarkan oleh pecahan-pecahan karang hidup.

c. Ada pula perangkap yang dipasang dari perahu dan diikat dengan tali yang dipancangkan. Bubu seperti inilah yang sering merusak terumbu karang. Hal ini karena Bubu dipasangi pemberat yang saat ditenggelamkan dari perahu menabrak percabangan terumbu karang. Bubu seperti ini terutama merusak terumbu karang pada saat Bubu ditarik oleh tali pemancang untuk mengangkatnya. Bila penggunaan Bubu seperti ini terus meningkat, terutama untuk menangkap Ikan Kerapu, kegiatan penangkapan dengan alat Bubu akan menjadi sumber kerusakan terumbu karang di Indonesia.

4. Pukat Harimau

a. Pukat Harimau merupakan cara penangkapan yang merusak lainnya. Pukat Harimau merusak terumbu karang, karena biasanya digunakan di dasar (substrat) yang lunak untuk menjaring udang. Pukat Harimau dilarang digunakan di Indonesia karena jaring/pukat ini dapat merusak hamparan laut dan menangkap organisme yang bukan sasaran penangkapan (by-catch). Namun demikian, meskipun kini penangkap ikan dengan Pukat Harimau jarang dijumpai, kegiatan ini masih ditemukan, terutama di wilayah perbatasan.

b. Berdasarkan definisinya, Pukat Harimau tidak termasuk dalam jenis alat tangkap ikan yang merusak. Namun demikian alat tangkap ini memberikan pengaruh yang luar biasa buruk terhadap sumberdaya laut khususnya terumbu karang, karena kemampuannya mengeruk sumberdaya perikanan tersebut. Sebagai contoh, pukat harimau dengan model yang baru, yang dioperasikan di Selat Lembeh pada tahun 1996 hingga 1997 selama 11 bulan. Pukat ini menggunakan jerat-jaring yang sangat besar dan menangkap 1,400 Ikan Pari (Manta), 750 Marlin, 550 Paus, 300 Ikan Hiu (termasuk Hiu Paus), dan 250 Lumba-lumba (Pet-Soede dan Erdmann, downloaded 30 October 2006, 09.18, http://www.spc.int/coastfis /news/LRF/4/erdmann.htm). Dampak penangkapan ikan dengan menggunakan pukat tersebut terhadap kegiatan ekowisata mulai terasa, karena berkurangnya kelimpahan organisme laut yang menjadi modal utama industri ekowisata ini.

5. Pukat Dasar
a. Pukat Dasar/Lampara Dasar dianggap sebagai salah satu penyebab berkurangnya ketersediaan ikan di Indonesia. Hal ini karena Pukat Dasar yang sering digunakan untuk menangkap udang, juga "menangkap" ikan dan organisme lain serta karena mobilitasnya dapat mengeruk dasar laut sehingga menimbulkan kerusakan ekosistem yang parah.

b. Pukat Dasar berinteraksi secara langsung dengan sedimen dasar yang dapat menyebabkan hilang atau rusaknya yang organisme hidup tidak bergerak seperti rumput laut dan terumbu karang. Pukat Dasar, dengan kemampuan pengerukkannya, dapat pula membongkar terumbu karang atau batu dalam ukuran besar. Di dasar yang berpasir atau berlumpur, Pukat ini dapat memicu kekeruhan yang tinggi dan berakibat buruk bagi kelangsungan hidup terumbu karang.

c. Terhadap jenis (spesies), kerugian utama yang ditimbulkan Pukat Dasar adalah tertangkapnya organisme kecil dan jenis-jenis yang bukan sasaran penangkapan (non-target), yang biasanya dibuang begitu saja di laut. Dampak terhadap spesies ini dapat dikurangi denan menggunakan jaringdengan ukuran tertentu yang dapat mengurangi peluang tertangkapnya organisme yang berukuran kecil.


 
PENANGGULANGAN PENANGKAPAN IKAN TIDAK RAMAH LINGKUNGAN
 
Praktek penangkapan ikan tidak ramah lingkungan yang menggunakan bahan peledak (bom) dan racun (bius) makin marak dilakukan di berbagai wilayah perairan di Indonesia. Praktek semacam ini selain menimbulkan kerugian ekologis, juga menimbulkan dampak socia lekonomi yang sangat besar terhadap negara dan daerah, serta dapat memicu berbagai perselisihan sosial yang memprihatinkan terutama akibat menurunnya produktivitas ekosistem terumbukarang. Jika hal ini berlangsung terus, maka diperikirakan dalam waktu yang singkat terumbukarang akan berkurang serta biota-biota yang berasosiasi dengan terumbu karang terutama yang benilai ekonomis dan terlebih yang langka dapat menjadi punah. Kegiatan penangkapan ikan tidak ramah lingkungan tidak hanya mengancam keberlanjutan pemanfaatan sumber daya alam pesisir dan laut, tetapi juga memacu peningkatan jumlah masyarakat miskin di wilayah tersebut. Agar keberlanjutan sumberdaya dapat dipertahankan, maka aktivitas manusia (antrophogenic causes) yang baik secara langsung maupun tidak langsung yang berpotensi merusak keberlanjutan sumberdaya ekosistem terumbu karang mestinya diminimalisasi. Salahsatunya adalah penanggulangan penangkapan yang yang menggunakan bahan peledak. 
 
Dalam upaya meminimalisasi penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, dengan menggunakan bahan peldak (bom) dan racun (sianida) khususnya adalah : 
 1. Pengembangan Mata Pencaharian
Masyarakat pesisir (nelayan) dikategorikan masih miskin dan memiliki tingkat pendidikan yan sangat rendah. Perilaku masyarakat yang cenderung destruktif sangat dipengaruhi oleh faktor ekonomi (kemiskinan) dalam memenuhi kebutuhannya dan diperparah dengan sifat keserakahan dalam mendapatkan hasil yang maksimal walaupun ditempuh dengan cara-cara yang merugikan karena bukan saja merusak lingkungan ekosistem terumbu karang saja tetapi juga memutus rantai mata pencaharian anak cucu. Bukan hanya itu, faktor rendahnya tingkat pendidikan juga mempengarhi perilaku masyarakat tersebut. Dengan alternatif mata pencaharian (tambahan) diharapkan dapat memberikan nilai tambah sehingga masyarakat pesisir (nelayan) destruktif akan berkurang.
 
 2. Penegakan Hukum
Secara umum maraknya kegiatan penangkapan ikan dengan merusak di beberapa daerah adalah lemahnya penegakan hukum. Beberapa kasus yang tidak diselesaikan secara baik dan tuntas dan transparan memicu perilaku masyarakat. Ketidakpuasan masyarakat akibat penanganan pelanggaran tersebut semestinya diperbaiki mulai dari aparat penegakan hukum yang terkait. 
 
3. Pendidikan dan Penyadaran tentang Lingkungan
Sebagaimana yang dipaparkan dipoint pertama di atas, dimana secara umum masyarakat pesisir (nelayan) terutama yangdiindikasikan sebagi pelaku penangkapan ikan dengan merusak tersebut memiiki pendidikan rendah sehingga pengetahuan tentang pentingnya ekosistem terumbu karang terbatas. Denganpendidikan dan penyadaran tentang lingkungan dapat melalui seminar, lokakarya, workshop,studi banding dapat ditingkatkan. 
 
4. Pengaturan Waktu, Jumlah, Ukuran dan Wilayah Tangkap
Di beberapa lokasi pengaturan waktu, jumlah, ukuran dan wilayah tangkap sudah dikembangkan. Namun kendalanya dibeberapa lokasi di Indonesia  merupakan sesuatu hal yang masih sulit. Hal ini disebabkan oleh masih terbatasnya penelitan/kajian aspek-aspek dari terumbu karang dan komunitas masyarakat pesisir (nelayan) serta sumberdaya manusia pelaksana maupun pelaku kebijakan yang masih terbatas.  
 
Implementasi dari empat point penanggulangan penangkapan ikan tidak ramah lingkunga ndengan cara merusak (destructive fishing) dapat dipastikan meminimalisasi dampak dari kegiatan tersebut tentunya jika diimplementasikan dengan baik (focus dan terintegrasi).


Sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Pusat Penyuluhan KP, http://www.scribd.com,

Senin, 03 Juni 2013

Materi Penyuluhan : BUDIDAYA IKAN KERAPU DI KARAMBA JARING APUNG (KJA)


PENDAHULUAN

Sebagai negara kepulauan (juga dikenal sebagai negara maritim), Indonesia memiliki perairan yang sangat luas, dimana 75% dari luas negara Indonesia berupa perairan laut dengan panjang pantai mencapai 81.000 Km, dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) seluas 5.800.000 Km2. Dengan demikian jika  dibandingkan dengan negara-negara lain, maka luas perairan Indonesia merupakan terbesar kedua setelah Amerika Serikat. Dengan luas perairan tersebut, menurut data Ditjen Perikanan, potensi lestari produksi perikanan Indonesia mencapai 6,7 juta ton ikan per tahun. Namun produksi perikanan secara nasional realisasinya rata-rata sebesar 45% saja, atau sekitar 3 juta ton per tahun. Rendahnya produksi ini pada akhirnya menyebabkan kontribusi sub-sektor perikanan pada perolehan devisa ekspor nasional juga menjadi relatif rendah, yaitu sekitar 7,6%. 

Oleh sebab itu harus ada upaya-upaya untuk meningkatkan pemanfaatan sumber daya perairan Nusantara, yang berorientasi ekor untuk meningkatkan devisa negara, disamping untuk memenuhi peningkatan kebutuhan gizi masyarakat pada umumnya. Upaya-upaya itu antara lain melalui pengembangan agribisnis perikanan dan membangun industri perikanan yang berdampak luas terhadap pengembangan ekonomi di daerah sekitarnya.
Upaya memanfaatkan sumber daya perikanan Nusantara secara optimal ternyata masih menghadapi berbagai kendala, seperti masalah pendanaan (permodalan); teknologi penangkapan; budidaya (teknologi dan keterampilan); teknologi pengolahan; serta penyediaan armada kapal penangkapan ikan. Masalah lain yang diidentifikasi menghambat laju pertumbuhan produksi perikanan nasional adalah, masalah perizinan yang kurang efisien; pelayanan pelabuhan dan TPI (Tempat Pelelangan Ikan) yang dianggap mengakibatkan biaya tinggi; kurang terpadunya rencana tata ruang di wilayah laut dan pantai; masalah pencurian ikan; dan sebagainya. Keterbatasan sarana dan prasarana penangkapan, khususnya kemampuan armada penangkapan ikan (yang sebagian besar masih menggunakan perahu tanpa motor atau dengan motor-motor kecil) sehingga wilayah operasional penangkapan ikan terbatas sekitar pantai. Oleh sebab itu, di beberapa daerah banyak mengalami padat tangkap namun areal penangkapan terbatas, sedangkan di areal lepas pantai (belum termasuk ZEE) kapasitas penangkapan masih terlalu longgar, sehingga produksi perikanan menjadi rendah. Sebagai contoh adalah Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang memiliki perairan sangat luas namun hanya memberikan kontribusi sekitar 27,5% terhadap produksi perikanan nasional, sebaliknya di Jawa dan Sumatra yang perairannya relatif kecil namun mampu memberikan kontribusi sebesar 28,5%. 

Pengembangan budidaya ikan kerapu (Groupe/Trout) dengan karamba jaring apung (Kajapung) menjadi alternatif untuk mengatasi kendala peningkatan produksi perikanan laut. Yang paling penting dengan pengembangan usaha ini adalah, bahwa harga jual produksi dari tahun ke tahun semakin baik dan sangat prospektif. Selain itu dengan teknologi budidaya karamba ini, produksi ikan dapat dipasarkan dalam keadaan hidup, dimana untuk pasaran ekspor ikan hidup nilainya lebih mahal hingga mencapai 10 kali lipat dari pada ekspor ikan fresh. Berbeda dengan produksi ikan laut dengan sistem tangkapan lainnya, dimana tujuan mendapatkan hasil ikan dalam keadaan hidup dan tidak cacat/rusak, sangat sulit dicapai. Disamping itu produksinya sangat rendah karena untuk ikan jenis tertentu khususnya ikan-ikan dasar seperti ikan kerapu, ikan kakap, dan ikan dasar lainnya yang memiliki pasar potensial, penangkapan-nya harus menggunakan kail (baik hand line, long line atau rawai) sehingga produksinya menjadi terbatas, karena harus dikail satu per satu. Tidak seperti ikan permukaan misalnya kembung, cakalang, komu, sejenis sardin, dan sebagainya yang hidupnya bergerombol, sehingga mudah ditangkap dengan jaring dalam jumlah besar. Namun untuk ikan-ikan kerapu, meskipun jumlah yang ditangkap di alam hasilnya sangat terbatas, tetapi karena harga jual ikan rapu (ukuran tertentu) sangat tinggi, maka hasil produksi yang sedikit itu tetap menguintungkan. Sedangkan ikan-ikan kerapu yang ukurannya kecil (belum memenuhi syarat) dapat dibudidayakan di karamba, yang beberapa bulan kemudian dapat dijual dalam keadaan hidup dengan harga mahal.
Ikan Kerapu (Epinephelus sp) umumnya dikenal dengan istilah "groupers" dan merupakan salah satu komoditas perikanan yang mempunyai peluang baik dipasarkan domestik maupun padar internasional dan selain itu nilai jualnya cukup tinggi. Eksport ikan kerapu melaju pesat sebesar 350% yaitu dari 19 ton pada tahun 1987 menjadi 57 ton pada tahun 1988 (Deptan, 1990). Ikan Kerapu mempunyai sifat-sifat yang menguntungkan untuk dibudidayakan karena pertumbuhannya cepat dan dapat diproduksi massal untuk melayani permintaan pasar ikan kerapu dalam keadaan hidup. Berkembangnya pasaran ikan kerapu hidup karena adanya perubahan selera konsumen dari ikan mati atau beku kepada ikan dalam keadaan hidup, telah mendorong masyarakat untuk memenuhi permintaan pasar ikan kerapu melalui usaha budidaya.

Ikan kerapu di Indonesia terdiri atas 7 genus, yaitu Aethaloperca, Anyperodon, Cephalopholis, Chromileptes, Epinephelus, Plectropomus, dan Variola. Dari 7 genus tersebut umumnya hanya genus Chromileptes, Plectropomus, dan Epinephelus yang termasuk komersial terutama untuk pasaran internasional, seperti ikan kerapu bebek/Polkadot Grouper atau ikan kerapu napoleon (Cheilinus undulatus); kemudian ikan kerapu sunuk/Coral trout (termasuk genus Plectropomus); serta ikan kerapi lumpur/Estuary Grouper dan ikan kerapu macan/Carpet cod (termasuk genus Epninephelus). Dari beberapa jenis ikan kerapu komersial tersebut, ikan kerapu sunuk atau kerapu merah (Plectrocopomus leopardus) dan ikan kerapu lumpur jenis Epinephelus suillus yang banyak dibudidayakan oleh karena jenis ikan ini ternyata pertumbuhannya lebih cepat daripada jenis ikan kerapu lainnya, dan benihnya selain diperoleh dari alam (penangkapan) juga sudah dapat diadakan dengan cara pemijahan dalam bak, sedangkan ikan kerapu lainnya sulit dipijahkan dengan berhasil, sehingga pengadaan benihnya harus diambil dari alam. 

Budidaya Ikan Kerapu dalam jarring apung atau Karamba Jaring Apung (KJA) merupakan teknik akuakultur yang paling produktif dan dapat dikatakan metode intensif dengan konstruksi yang tersusun dari karamba-karamba jaring yang dipasang yang dipasang pada rakit terapung diperairan pantai. Beberapa keuntungan yang dimiliki metode Karamba Jaring Apung (KJA) ialah tingginya penebaran jumlah dan mutu air selalu memadai, tidak memerlukan pengolahan tanah, pemangsa mudah dikendalikan dan mudah dipanen.
Ikan kerapu merupakan salah satu jenis ikan laut yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Budidaya ikan kerapu memiliki prospek yang cukup cerah, mengingat kebutuhan ikan ini setiap tahun cenderung meningkat baik untuk di konsumsi dan untuk diexport.

METODOLOGI 

PEMILIHAN LOKASI
Pemilihan lokasi yang sesuai dan cocok menjamin kelangsungan usaha budidaya. Faktor-faktor yang perlu dihindari :
  1. Gangguan alam seperti ombak/badai pada saat musim angin, arus yang kuat menyebabkan ikan stress/ tertekan, merusak atau merubah posisi wadah, menghalangi kegiatan pantai seperti pemberian pakan dan pembersihan jaring.
  2. Pencemaran/polusi ; dapat disebabkan limbah rumah tangga, limbah kegiatan pertanian dan limbah industri. Bahan-bahan buangan tersebut dapat berupa plastik, deterjen, sampah organik, pestisida, bahan-bahan kimia bersifat racun dn logam berat.
  3. Pelayaran kapal
Daerah pelayaran kapal memiliki potensi besar untuk terpolusi. Selain itu kapal-kapal dan perahu dapat menggangu sistem budidaya.
  1. Daerah muara sungai yang memiliki potemsi fliktuasi salinitas yang besar serta bahan bawaan partikel tersuspensi yang tinggi.
Lokasi untuk budidaya kerapu sebaiknya dipilih pada daerah perairan yang terlindungi seperti selat yang diapit oleh dua atau beberapa pulau yang berdekatan atau daerah teluk. Biasanya daerah seperti ini terlindung dari angin, ombak dan arus yang kuat. Selain itu perrairan yang dipilih harus memenuhi syarat-syarat kualitas fisika kimia air sebagai berikut :
  • Temperatur : 28 - 30o C
  • Salinitas : 25 - 34 ppt (%)
  • pH : 7 – 9
  • Oksigen terlarut : > 4 ppm
  • Kecerahan : > 5 m
  • Beda pasang surut : 1 - 3 m
  • Kedalaman perairan : 7 - 15 m
  • Kecepatan arus : 20 - 40 cm/detik

CARA PEMBUATAN RAKIT TERAPUNG
Untuk membuat rakit terapung. Pembuatan rakit ini dilakukan di tep pantai agar mudah dalam pembuatan dan pemindahan ke lokasi budidaya. Rakit ini dibuat dari bamboo atau kayu. Penggunaan kayu ini akan lebih tahan lama dan biasanya digunakan untuk skala relatif besar. Rakit ini terdiri dari beberapa bagian utamanya yaitu kerangka rakit, jaring, pelampung, tali jangkar dan ada juga yang dilengkapi dengan lantai dan murah juga. Untuk membuat 1 (satu) unit rakit dari bambu dengan 4 (empat) karamba berukuran 3 x 3 x 4 m, dibutuhkan 10 (sepuluh)batang bambu yang berdiameter 10-12 cm dan panjang 8 m. Sebagai pelampung dapat digunakan Styrofoam atau drum bekas oli sebanyak minimal 9 buah. Bambu dan pelampung dipasang sedemikian rupa dengan pengikat tali nylon atau kawat. Teknik mengikat bambu di setiap sudut rakit paling luar harus kuat dan kokoh. Caranya dengan melubangi kedua ujung bamboo, kemudian dimasukkan kayu pada lubang tali. Setelah rakit siap lalu ditarik dengan bantuan perahu untuk dipindahkan ke lokasi budidaya. Empat buah jangkar dan tali jangkar digunakan untuk memasang rakit. Tali jangkar yang digunakan berdiameter 8-12 mm dengan panjang masing-masing 3-5 kali kedalaman perairan. Setiap jangkar berbobot 40-50 kg dengan catatan disesuaikan dengan kondisi perairan yang ada.

PENEBARAN BENIH
Setelah tahap persiapan selesai, dilakukan penebaran benih yang berukuran antara 10-15 cm per ekor dengan kepadatan 40-60 ekor/m3. Kondisi benih yang betul-betul sehat dapat yang dapat dipelihara. Karena benih yang sakit akan terhambat pertumbuhannya, dan lebih berbahaya lagi penularannya. Benih yang digunakan adalah ikan kerapu yang sehat yaitu yang tidak terkena penyakit, baik bacterial maupun parasit. Sebagai tindakan pengamanan, sebelum dipelihara benih ikan kerapu perlu diberi perlakuan yaitu direndam dengan larutan KMNO4 (Kalium Permanganat) dengan dosis 3-5 gram/m3 selama 1 jam. Benih Kerapu untuk dipelihara di kurungan apung dapat berasal dari alam atau dari panti pembenihan;

Syarat-syarat benih yang baik yaitu :
- Warna cerah
- Aktif dan gerakannya lincah
- Nafsu makan tinggi
- Tidak cacat/luka pada sirip, sisik dan bagian tubuh lainnya
- Seragam ukurannya

PEMBERIAN PAKAN
Pakan yang diberikan selama masa pemeliharaan bisa ikan ricah segar mauput pellet. Bentuk pellet yang mangandung 20-25% protein. Pakan tersebut diberikan dalam jumlah 3-5 % dari berat total per hari yaitu pagi dan sore. Waktu pemberian pakan untuk ikan sebaiknya sesaat setelah matahari terbit atau sesaat sebelum matahari terbenam. Khusus pakan dari ikan ricah ada beberapa jenis yang tergolong ikan ricah yang baik untuk pakan ialah ikan tembang, selar dan rebon. Pakan ikan ricah yang digunakan tersebut harus selalu segar. Namun, sering ketersediaan pakan tidak menentu sehingga perlu disimpan dalam lemari es (freezer), asal penyimpanannya tidak lebih dari satu minggu. Pakan yang tidak segar atau terlalu lama disimpan menyebabkan penurunan kualitas nutrisi.

PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT
Selama pemeliharaan, kesehatan ikan harus selalu diamati agar dapat dilakukan penanggulangan sedini mungkin. Bila ditemui tanda-tanda serangan penyakit, harus segera dilakukan tindakan pengamanan serta penanggulangan seperlunya. Ikan yang dipelihara sedapat mungkin harus terhindar dari gangguan hama dan penyakit. Apabila ada ikan yang terinfeksi penyakit, harus segera dilakukan pengobatan.

a. Hama pada Budidaya Ikan Kerapu
Hama yang biasa hidup di tempat budidaya ikan kerapu baik sebagai pemangsa, penyaing dan pengganggu diantaranya adalah : ikan baronang, ular laut, penyu, kepiting dan kerang bulu.
Untuk menanggulangi serangan hama ini perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut :
  • Melakukan control di lokasi budidaya setiap saat, termasuk kontrol terhadap keadaan jaring atau wadah yang digunakan.
  • Melakukan pemburuan hama di sekeliling lokasi budidaya.
  • Melakukan pemisahan ukuran ikan.
  • Melakukan pembersihan wadah/jaring secara periodik.
b. Penyakit
Penyakit yang sering menyerang ikan kerapu dapat disebabkan oleh beberapa jenis jasad renik atau mikroorganisme yang hidup di lingkungan ikan dan beberapa faktor lainnya seperti menurunnya kualitas air yang menyebabkan ikan menderita stress sehingga daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit menurun.

Ikan yang telah terserang penyakit memperlihatkan tanda-tanda khusus sesuai dengan jenis penyakit yang menyerang. Pada umumnya ikan yang terserang penyakit memperlihatkan tanda-tanda sebagai berikut :
  • Nafsu makan ikan berkurang, yang berakibat pertumbuhan menurun.
  • Warna ikan menjadi gelap atau pucat, kadang-kadang pada bagian perut sampai pangkal sirip berwarna merah. Terdapat bintik putih di bagian luar tubuh.
  • Ikan berenang tidak stabil, dan lebih sering di bagian permukaan air.
  • Mata ikan membengkak atau menonjol.
Pencegahan dan pengobatan untuk mencegah infeksi parasit ini dapat dilakukan dengan cara membersihkan bagian jaring atau wadah menempel telur-telur dari parasit ini. Ikan yang terserang direndam dalam larutan garam amoniak (NH4Cl) sebanyak 12,5 gram/liter selama 5-10 menit.

Penyakit yang disebabkan oleh bakteri sangat cepat menular, oleh sebab itu apabila tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka dapat mengakibatkan kematian masal. Ikan yang terserang bakteri memperlihatkan warna kemerahan pada bagian perut dan kadang-kadang terjadi pendarahan. Pengobatan penyakit ini dengan menggunakan antibiotik yang dapat dilakukan melalui beberapa cara antibiotik oxytetracycline dicampur didalam makanan dengan dosis 0,5 gram per kg pakan selama 7 hari berturut-turut. Antibiotik chloramphenical 0,2 gram per kg pakan selama 4 hari berturut-turut. Ikan yang sementara pengobatan tidak boleh dipanen/makan selama dua minggu lamanya.

PEMANENEN
Pemanenan dapat dilaksanakan setelah masa pemeliharaan 5-6 bulan. Waktu pemanenan sebaiknya dilakukan pada saat udara sejuk. Panen dilakukan dengan cara menarik sebagian jaring, sehingga ikan-ikan terkumpul pada tempat yang sempit, yang selanjutnya ditangkap dengan menggunakan alat tangkap dengan hati-hati, agar ikan tidak mengalami luka, cacat dan tetap dalam kondisi baik.

Langkah persiapan pemanenan meliputi penyediaan sarana dan alat panen, seperti serokan, bak air laut, aerasi, timbangan, dan kapal yang dilengkapi dengan palka penampung ikan. Alat dan sarana ini harus dalam keadaan bersih. Pada saat pelaksanaan pemanenan, pemberian pakan dihentikan. Langkah pertama pelaksananaan pemanenan dimulai dengan melepas tali pemebrat pada kajapung, kemudian jaring karamba diangkat secara perlahan agar ikan tidak berontak. Setelah terangkat, sedikit demi sedikit ikan diserok dengan serokan, dan dimasukkan ke dalam palka pada kapal pengangkut yang sebelumnya telah diisi air laut. 

Setelah tiba di lokasi Pabrik/Coldstorage perusahaan inti, ikan dalam palka dipindah ke pabrik dengan drum-drum atau ember yang berisi air laut. Untuk selanjutnya ditimbang dan diproses lebih lanjut. Pemeliharaan ikan-ikan kerapu hasil tangkapan yang besarnya antara 0,8 - 1,2 Kg, dimasukkan pada kolam tersendiri sesuai ukurannya. Sedangkan cara pemeliharaannya, mulai dari pemberian pakan dan pengendalian penyakit/hama, perlakuannya sama saja dengan pemeliharaan ikan kerapu ukuran kecil. Hanya yang perlu diperhatikan adalah, masa adaptasi di karamba jaring apung mengingat ikan ini sudah besar di alam habitatnya. Untuk itu pengawasan secara ketat harus dilakukan untuk meminimalisir penyebab kematian pada ikan.

PENGANGKUTAN IKAN

Pemeliharaan ikan-ikan yang telah memenuhi nilai komersial ini, biasanya tidak berlangsung lama, yaitu antara 1 minggu sampai 1 bulan lamanya. Apabila ikan-ikan tersebut telah siap dipasarkan oleh Inti, maka perlakuan pemindahan ikan-ikan tersebut ke kapal pengangkut, sama dengan perlakuan pada budidaya ikan kerapu.

ASUMSI DAN PARAMETER KEUANGAN
Analisis keuangan usaha budidaya ikan kerapu dengan menggunakan karamba jaring apung (kajapung) perlu dilakukan untuk mengetahui gambaran umum mengenai pendapatan dan pengeluaran/biaya, kemampuan melunasi pembiayaan, serta kelayakan usahanya. Untuk melakukan analisis keuangan tersebut menggunakan beberapa asumsi dan parameter keuangan yang didasarkan pada hasil pengamatan di lapangan dan masukan dari instansi terkait yang mendukung sehingga akan diperoleh gambaran secara utuh tentang aspek keuangan usaha budidaya ikan kerapu kajapung. Asumsi dan parameter ini didasarkan pada kelayakan usaha setiap nelayan yang akan mengembangkan (ekstensifikasi) penangkapan dan budidaya ikan kerapu seluas 1 unit kajapung berikut armada kapal penangkapan ikan. Dengan demikian perusahaan inti akan terlibat kegiatan sejak awal, mulai dari kegiatan survey lokasi penempatan kajapung, survei lokasi perencanaan proyek termasuk desain teknis kajapung, pembuatan kajapung, sampai benih ikan yang dibudidayakan siap menghasilkan.

Struktur biaya yang diperlukan untuk usaha budidaya ikan kerapu di keramba jaring apung terdiri dari biaya investasi dan biaya operasional. Biaya investasi adalah biaya awal yang diperlukan sebelum kegiatan operasional dilakukan. Sedangkan biaya operasional diperlukan pada saat proses produksi mulai dilakukan.

1. Biaya Investasi
Biaya investasi diperlukan untuk memulai usaha budidaya ikan kerapu di KJA yang meliputi biaya pembuatan petak, pembuatan jaring dan pengadaan armada perahu pancing. Biaya investasi ini bersifat tetap (fixed) dan harus dikeluarkan di tahun ke-0 sebelum melakukan usaha.
2. Biaya Operasional
Biaya operasional merupakan biaya yang diperlukan dalam membudidayakan ikan kerapu dengan Kajapung. Besarnya biaya operasional ini tergantung pada jumlah yang akan diproduksi. Semakin banyak jumlah ikan kerapu yang diproduksi maka biaya operasional akan semakin tinggi. Oleh karena itu, biaya operasional umumnya merupakan biaya tidak tetap (variable cost) yang terdiri dari biaya pakan, tenaga kerja, bahan baku dan pemeliharaan dan perlengkapan penunjang budidaya. 


ASPEK SOSIAL EKONOMI DAN DAMPAK LINGKUNGAN

a. Aspek Sosial Ekonomi
1. Umum
Diantara faktor yang berhubungan dengan aspek sosial ekonomi adalah suplai bibit, status lokasi, perijinan, sarana transportasi, tenaga kerja, alat dan bahan, pasar dan harga serta dukungan pemerintah.

2. Sumber Bibit
Bibit ikan kerapu adalah faktor yang menentukan kelangsungan usaha ini, sehingga sumber dan suplai bibit ikan kerapu harus jelas untuk kebutuhan dan keberlangsungan budidaya Kerapu di Keramba Jaring Apung ini.

3. Status Lokal dan Izin
Lokasi yang dipilih untuk budidaya ikan kerapu statusnya harus jelas, sehingga  tidak berbenturan dengan kepentingan masyarakat pada umunya, instansi lain atau lembaga lain di kemudian hari. Peruntukan lokasi harus jelas dan pasti, sesuai dengan rencana induk pembangunan daerah setempat. Peruntukan areal yang jelas ini sangat penting untuk menghindari terjadinya kerugian yang tidak terduga sewaktu- waktu.

4. Transportasi
Lokasi yang dipilih harus dapat dijangkau, agar pengadaan bibit ikan kerapu, peralatan dan pemasaran hasil produksi dapat berjalan lancar. Sarana transportasi harus memadai, hal ini penting untuk menekan pengeluaran biaya yang sangat besar serta waktu pengangkutan bibit ikan kerapu dan hasil produksi dari ikan dan ke lokasi harus seefisien mungkin. 

5. Tenaga Kerja
Tenaga kerja dalam budidaya ikan kerapu ini merupakan faktor yang sangat penting sejajar dengan faktor-faktor penting lainnya. Bahkan tenaga kerjalah yang paling menentukan, terutama dalam skala usaha yang besar. Sedangkan untuk usaha dalam skala kecil, biasanya semua pekerjaan dikerjakan secara kelompok. Dalam usaha skala besar, diperlukan dua bentuk tenaga kerja, yaitu tenaga kerja untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan biasa yang tidak membutuhkan keahlian. Sedangkan tenaga kerja khusus atau (ahli) untuk pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan keahlian, seperti survey lokasi, tata cara dan lain-lain yang menyangkut dalam hal teknik budidaya. Tenaga kerja biasanya hendaknya direkrut atau didahulukan tenaga kerja lokasi, karena selain mereka tidak membutuhkan biaya transportasi menuju ke lokasi usaha, juga dengan memanfaatkan tenaga kerja lokal, berarti usaha yang kita lakukan membawa lapangan kerja bagi penduduk di sekitar lokasi usaha. Sedangkan tenaga kerja ahli akan disediakan perusahaan inti atau koperasi. Bagi tenaga kerja biasa yang belum profesional masih diperlukan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan mereka.

6. Alat dan Bahan
Tersedianya alat dan bahan di sekitar lokasi menunjang kelancaran dan usaha menekan biaya, sedangkan bila bahan dan alat didatangkan dari tempat lain dengan menggunakan sarana transportasi tersebut.

7. Keamanan
Dalam usaha ini harus diperhatikan dari gangguan pencurian atau penjarahan, termasuk keselamatan dan kesehatan kerja

8. Dukungan Pemerintah
Dukungan pemerintah dalam usaha ini sangat diperlukan terutama dalam hal perijinan yang berkaitan dengan usaha budidaya ikan kerapu.

9. Dampak
a. Aspek Sosial
Dengan terjalinnya kerjasama antara nelayan setempat dan Perusahaan Inti ini, akan memberikan keuntungan bagi berbagai pihak. Usaha di atas akan membantu pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja baru bagi pencari kerja yang selama ini belum memperoleh tempat (terutama pada armada kapal penangkap ikan sebagai anak buah kapal/ABK, dan penjaga unit-unit karamba), sekaligus untuk mendukung Program Pemerintah dalam mensejahterakan masyarakat perikanan.
b. Aspek Ekonomi
Melalui pemanfaatan areal laut untuk lokasi kajapung, peningkatan kemakmuran nelayan dan anggota koperasi primer di pedesaan akan menjadi kenyataan.
c. Aspek Profesionalisme
Dengan kerjasama antara nelayan setempat dengan perusahaan inti ini, maka pembentukan saluran distribusi penjualan ikan kerapu akan menjadi lancar dengan menggabungkan fasilitas yang telah ada dan memperbaiki pola berpikir dan manajemen, terpadu maka posisi Gerakan Koperasi sebagai Lembaga Ekonomi Masyarakat dapat ditingkatkan dan menjadi nyata.
d. Aspek Pendidikan
Adanya budidaya ikan kerapu dan penangkapan ikan kerapu, diharapkan akan memberi motivasi masyarakat desa untuk mendorong tumbuhnya suasana yang kondusif dan menyenangkan bagi warga desa dengan cara meningkatkan ketersedian jasa pelayanan pendidikan, kesehatan dan fasilitas infrastruktur lain yang diperlukan masyarakat desa.

b. Dampak Lingkungan
Pembukaan kawasan untuk proyek budidaya kajapung dengan luas lahan yang sangat besar, termasuk pembangunan pabrik perusahaan Inti, langsung maupun tak langsung akan menimbulkan dampak positif maupun negatif terhadap komponen ekosistem maupun sosial ekonomi. Secara teknis dampak dari budidaya kajapang yang sangat besar, akan berpengaruh terhadap lalu lintas kapal/pelayaran umum, dan kepentingan masyarakat pada umumnya.

Sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Ipteknet.com,
Data Direktorat Kredit, BPR dan UMKM.

Entri Populer