Kegiatan penangkapan ikan tuna menggunakan bom masih marak di perairan
Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. WWF-Indonesia, dalam
laporan survei berjudul "Potret Pemboman Ikan Tuna di Perairan Kabupaten
Flores Timur" yang dirilis Kamis, 4 Maret 2013, menyatakan praktek
pengeboman ikan tuna dijumpai di peraian Pulau Tiga, Selat Solor, Pulau
Solor bagian selatan, Selata Lamakera, dan Selat Lembata bagian selatan.
Dwi Ariyogautama, peneliti perikanan Program Kelautan dan Perikanan WWF-Indonesia, mengatakan penangkapan tuna dengan bom pertama kali diperkenalkan oleh nelayan asal Sulawesi pada 1996. Sejak itu nelayan di dua desa di Kabupaten Flores Timur kerap menggunakan bom untuk menangkap tuna. Pengeboman sempat berhenti pada akhir 1990-an, namun kembali dilakukan sejak 2004.
"Sampai sekarang masih terjadi dan bertambah parah," kata Dwi dalam konferensi pers kemarin di Hotel Atlet Century. Bahkan, tim survei WWF-Indonesia pernah menemukan 98 armada kapal berukuran 2-3 gross tonnase di salah satu desa yang digunakan nelayan untuk menangkap ikan tuna dengan bom.
Satu kapal tangkap biasanya berisi hingga 10 nelayan: satu orang juru mudi, satu orang pelempar bom, dan sisanya bertugas menyelam ke laut menangkap tuna yang terkena bom. Nelayan rata-rata melakukan 8-15 kegiatan tangkap per bulan. Sebanyak 7-10 botol bom berisi pupuk urea dilemparkan ke laut setiap hari. Total terjadi 56-150 ledakan per bulan.
Dwi mengatakan, masa tangkap tuna dengan bom biasa dimulai bulan April hingga November. Hasilnya memang menggiurkan. Data selama empat bulan pada akhir 2012 menunjukkan 57,6-240 ton tuna berhasil ditangkap oleh para nelayan. Nilainya ditaksir Rp 896 juta sampai Rp 3,15 miliar. "Cara bom menghasilkan tiga kali dari cara tangkap pancing dan gillnet," kata dia.
Masalahnya, praktek penangkapan tuna dengan bom tidak hanya merusak ekosistem, tapi juga menyebabkan pemborosan ikan tuna. WWF-Indonesia mencatat setidaknya separuh dari jumlah tuna yang terkena bom keburu tenggelam ke dasar laut sebelum sempat diambil oleh nelayan sehingga terbuang percuma.
Selain itu, ledakan bom tidak hanya menyasar tuna. Lumba-lumba yang merupakan satwa dilindungi juga menjadi korban karena sering berada di area yang sama dengan tuna. Belum lagi pelaku pengeboman yang terkena ledakan hingga mengalami cacat permanen atau meninggal. Di salah satu desa lokasi penelitian WWF, ditemukan data lima orang korban meninggal dan dua orang cacat permanen sejak 2004 akibat insiden ledakan bom tuna.
Nelayan biasa menggunakan lumba-lumba atau burung laut sebagai indikator keberadaan tuna. "Karena lumba-lumba berasosiasi dengan tuna," ucap Dwi. Ketika lumba-lumba muncul ke permukaan laut, nelayan segera melempar bom berisi pupuk urea ke sekitarnya. Akibatnya, mamalia laut itu bersama tuna menjadi korban ledakan.
Direktur Program Kelautan dan Perikanan WWF-Indonesia, Wawan Ridwan, mengatakan praktek pengeboman ikan tuna harus segera dihentikan. Para pemasok ikan tuna juga wajib memastikan bahwa produk perikanan yang mereka terima dari nelayan tidak berasal dari kegiatan yang merusak. "Dalam kasus ini asal-usul produk tuna harus ditelusuri," ujarnya.
Menurut Dwi, kesadaran menelusuri asal-usul tuna menjadi penting, mengingat ikan migrasi itu menjadi komoditas perikanan utama global yang diekspor ke beberapa negara, seperti Jepang dan Hawaii. Apalagi tuna hasil tangkap dengan bom sering kali berkualitas buruk karena penanganan yang tidak higienis oleh nelayan. "Ada bakteri E. coli dan Salmonella, sehingga tidak lolos laboratorium jika diekspor," kata dia.
Dwi Ariyogautama, peneliti perikanan Program Kelautan dan Perikanan WWF-Indonesia, mengatakan penangkapan tuna dengan bom pertama kali diperkenalkan oleh nelayan asal Sulawesi pada 1996. Sejak itu nelayan di dua desa di Kabupaten Flores Timur kerap menggunakan bom untuk menangkap tuna. Pengeboman sempat berhenti pada akhir 1990-an, namun kembali dilakukan sejak 2004.
"Sampai sekarang masih terjadi dan bertambah parah," kata Dwi dalam konferensi pers kemarin di Hotel Atlet Century. Bahkan, tim survei WWF-Indonesia pernah menemukan 98 armada kapal berukuran 2-3 gross tonnase di salah satu desa yang digunakan nelayan untuk menangkap ikan tuna dengan bom.
Satu kapal tangkap biasanya berisi hingga 10 nelayan: satu orang juru mudi, satu orang pelempar bom, dan sisanya bertugas menyelam ke laut menangkap tuna yang terkena bom. Nelayan rata-rata melakukan 8-15 kegiatan tangkap per bulan. Sebanyak 7-10 botol bom berisi pupuk urea dilemparkan ke laut setiap hari. Total terjadi 56-150 ledakan per bulan.
Dwi mengatakan, masa tangkap tuna dengan bom biasa dimulai bulan April hingga November. Hasilnya memang menggiurkan. Data selama empat bulan pada akhir 2012 menunjukkan 57,6-240 ton tuna berhasil ditangkap oleh para nelayan. Nilainya ditaksir Rp 896 juta sampai Rp 3,15 miliar. "Cara bom menghasilkan tiga kali dari cara tangkap pancing dan gillnet," kata dia.
Masalahnya, praktek penangkapan tuna dengan bom tidak hanya merusak ekosistem, tapi juga menyebabkan pemborosan ikan tuna. WWF-Indonesia mencatat setidaknya separuh dari jumlah tuna yang terkena bom keburu tenggelam ke dasar laut sebelum sempat diambil oleh nelayan sehingga terbuang percuma.
Selain itu, ledakan bom tidak hanya menyasar tuna. Lumba-lumba yang merupakan satwa dilindungi juga menjadi korban karena sering berada di area yang sama dengan tuna. Belum lagi pelaku pengeboman yang terkena ledakan hingga mengalami cacat permanen atau meninggal. Di salah satu desa lokasi penelitian WWF, ditemukan data lima orang korban meninggal dan dua orang cacat permanen sejak 2004 akibat insiden ledakan bom tuna.
Nelayan biasa menggunakan lumba-lumba atau burung laut sebagai indikator keberadaan tuna. "Karena lumba-lumba berasosiasi dengan tuna," ucap Dwi. Ketika lumba-lumba muncul ke permukaan laut, nelayan segera melempar bom berisi pupuk urea ke sekitarnya. Akibatnya, mamalia laut itu bersama tuna menjadi korban ledakan.
Direktur Program Kelautan dan Perikanan WWF-Indonesia, Wawan Ridwan, mengatakan praktek pengeboman ikan tuna harus segera dihentikan. Para pemasok ikan tuna juga wajib memastikan bahwa produk perikanan yang mereka terima dari nelayan tidak berasal dari kegiatan yang merusak. "Dalam kasus ini asal-usul produk tuna harus ditelusuri," ujarnya.
Menurut Dwi, kesadaran menelusuri asal-usul tuna menjadi penting, mengingat ikan migrasi itu menjadi komoditas perikanan utama global yang diekspor ke beberapa negara, seperti Jepang dan Hawaii. Apalagi tuna hasil tangkap dengan bom sering kali berkualitas buruk karena penanganan yang tidak higienis oleh nelayan. "Ada bakteri E. coli dan Salmonella, sehingga tidak lolos laboratorium jika diekspor," kata dia.
Ling untuk berita ini bisa dilihat pada http://www.tempo.co/read/news/2013/03/15/095467318/Pengeboman-Tuna-Marak-di-Flores-Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar